Monday, November 23, 2015

3:43 PM - 2 comments

Benar-Benar Jajanan Pasar




Pasti ‘Pasar Baru’ bukanlah tempat yang asing bagimu. Kalau tidak tahu, itu cukup mengagetkan, karena saking terkenalnya, orang Malaysia pun datang dari negara mereka ke kota Bandung hanya untuk membeli kain dan pakaian murah di Pasar Baru. Pasar Baru lokasinya tepat di pusat kota Bandung, dan berada di tengah daerah Alun-alun dan Stasiun Bandung. Setiap hari, ribuan orang datang ke Pasar Baru, karena Pasar Baru adalah pusat perdagangan baju, dari bahan pakaian ke pakaian yang sudah utuh. Ada juga sepatu, topi, sama aksesoris lain. Pokoknya, Pasar Baru itu ‘tempatnya’ kalau sedang mencari pakaian atau aksesoris yang pas. Tapi bagaimana dengan jajajannya?
‘Pasar’ Baru itu bukan ‘Mall’ Baru atau ‘Pusat Perdagangan’ Baru, tapi ‘Pasar’ Baru. Logikanya kurang lebih begini; kalau ada pasar, pasti ada jajanan pasar, dan karena Pasar Baru merupakan pasar, pasti ada jajanan-jajanan khas dan tradisional di daerah sekitarnya.
Kebetulan, ada acara perjalanan kecil di sekolah saya, dan kebetulan, areanya di Pasar Baru. Kami punya uang, dan kami punya waktu, jadi kami jajan. Kami menulusuri jalanan di sekitar Pasar Baru seperti Jalan ABC dan Alkateri di sebelah Timurnya yang penuh dengan sejarah Tionghoa, Jalan Belakang Pasar di belakang pasar (hehehe) yang penuh orang yang berdagang, namun sedikit yang membeli, dan Jalan Suniaraja, yang dipenuhi kendaraan dan bangunan besar. Dan tentunya, kami juga mengeksplorasi daerah pasarnya untuk mencari jajanan yang “benar-benar jajanan pasar”.
Saya tidak akan membocorkan informasi-informasi yang penting, karena semua orang harus punya pengalaman mencari jajanan. Itu merupakan salah satu bagian dari kehidupan yang sering diabaikan. Jajanan khas itu harus dipertahankan, karena di dalam jajanan itu, di dalam setiap gigitan itu, ada sejarah yang sangat kaya. Di dalam pembuatannya juga pasti ada sejarah.
Salah satu contohnya adalah Bapak Ali, yang sudah lama menjual cendol putih (yang harganya 5.000 satu gelas) karena usaha tersebut ternyata milik orang tuanya. Cara pembuatan, resep, dan lain-lain diturunkan dari orang tuanya. FYI, cendol putih adalah cendol yang tidak menggunakan pewarna. Cendol biasa menggunakan pewarana hijau yang memiliki rasa kepandan-pandananan dan mungkin saja mengandung aditif-aditif berbahaya. Who knows? Cendol putih rasanya mungkin sama saja enaknya (namun tanpa rasa kepandan-pandanan itu yang agak mengganggu saat minum cendol biasa), tapi cerita dibaliknya pasti berbeda. Itu sangat terlihat saat Bapak Ali menjelaskan tentang kerjanya sebagai penjual cendol putih, atau penerus usaha orang tuanya.
Itu yang saya suka dari jajanan pasar. Cerita di baliknya pasti sangat berwarna. Jajanan kemasan dari pabrik hanya dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik yang berwarna oleh mesin-mesin tak berperasaan. No offense, saya tetap suka kok, jajanan kemasan, tapi cerita di balik jajanan pasar itu lebih menonjol.
Di Jalan Alkateri terdapat bola ubi yang cukup terkenal, dan sangat cocok dinikmati di dalam angkot, sambil berjalan (walau tidak disarankan), atau di dalam suasana pusat kota Bandung yang ramai. Penjualnya, Bapak Asep, sudah jualan sejak tahun 2006 atau 2007 sampai sekarang. Berarti, walaupun pesaingnya cukup banyak, jajanan pasar juga masih bertahan. Dan, seharusnya begitu juga.
Kita seharusnya menyisakan waktu untuk jalan-jalan di daerah pasar yang tidak terkenal, atau mencoba jajanan dari tukang dagang yang berkeliling. Siapa tahu kita menemukan sesuatu yang kita suka. Memakan jajanan tradisional itu juga melestarikan budaya, dan seharusnya, kita nggak keberatan untuk ‘melestarikan budaya’ (hehe). Karena jika tidak, banyak sejarah akan menghilang tanpa guna. Ciri khas makanan akan menghilang juga. Begitu pula dengan makanan tradisional yang enak-enak.
Saat kami berkeliaran di dekat Jalan Belakang Pasar, kami agak bingung, karena tidak terlalu banyak penjual jajanan tradisional. Ada tukang sayur, tukang jajanan kemasan, tukang mainan dan kartu-kartu anak-anak, tapi penjual jajanan tradisional kurang banyak. Ada beberapa toko, namun tutup. Yang ada di Jalan Belakang Pasar itu lebih banyak untuk penduduk lokal, yang memang tinggal di dekat areanya. Penjual jajanan seperti Ibu One tidak diperhitungkan. Stoknya cukup banyak (lihat foto cover), dan kelihatan juga cukup enak, dengan berbagai macam kue-kue dan camilan yang biasanya ada di rumah nenek. Sayangnya, yang membelinya juga biasanya orang yang sudah tua, sebagai camilan untuk tamu atau keluarganya. Ibu One juga terlihat cukup kecewa karena tidak terlalu banyak orang yang punya niat untuk menulusuri jajanan di tempat seperti belakang pasar. Padahal, kita semua tahu enaknya jajanan pasar, karena kita semua pasti pernah memakannya di rumah nenek. Kenapa kita nggak punya niat untuk membelinya sendiri, dan mencari sesuatu yang kita suka?
Begitu, ternyata. Area Pasar Baru itu tempat yang cocok untuk memulai usaha kita untuk mencari jajanan baru. Area pasar seperti itulah tempat yang cocok untuk mencari jajanan yang “benar-benar jajanan pasar”. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang menarik di dalam Pasar Baru yang diabaikan para pembeli pakaian, di Jalan Belakang Pasar yang tidak dipedulikan orang selain penduduk sekitar, atau di mana saja yang berbau jajanan pasar. Kita tinggal membeli jajanan tradisional, siapa tahu kita suka?

2 comments:

Asyik bacanya, selain deskripsi tentang makanannya detail, ada penghayatan di balik pengalaman membeli jajanan pasar :D. Sippp!

Keren tulisanya! Keep Writing ka :D

Post a Comment