Thursday, April 14, 2016

6:27 PM - No comments

Laskar Pelangi

Laskar pelangi sampul.jpg
Judul Buku: Laskar Pelangi
Copyright: Andrea Hirata
ISBN: 9793062797
Genre: Roman
Penerbit: Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005
Jumlah Halaman: 529
Sekolah Muhammadiyah (SD dan SMP) di desa Gantung, Belitung Timur terancam akan dibubarkan bila siswa baru tidak mencapai jumlah 10 anak. Di upacara pembukanya, baru 9 anak (yakni Ikal (aka Andrea Hirata aka penulis aka ‘aku’ di dalam cerita), Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek (aka Samson), dan Trapani) yang hadir. Tepat sebelum Pak Harfan, kepala sekolah, membaca pidato untuk menutup sekolah, Harun dan ibunya mendaftarkan diri ke sekolahnya.
Dari situ mulai cerita-cerita dan pengalaman seru mereka. Dengan keterbatasan dan kekurangan yang mereka miliki di sekolah kecil tersebut, mereka tetap bersemangat dalam belajar dan bermain bersama. Dalam sekolah mereka, didampingi oleh satu guru yang terus sabar dengan mereka, yaitu Bu Muslimah, yang hanya merupakan lulusan SKP (Sekolah Kepandaian Putri, yang sederajat dengan SMP), namun sangat berdedikasi menjadi pengajar untuk mereka dengan tekad dan ketulusan yang luar biasa. Bu Muslimah menjuluki mereka ‘Laskar Pelangi’ oleh karena kesenangannnya terhadap pelangi.

Mereka bersepuluh terus belajar dan berteman dari Kelas 1 SD sampai Kelas 3 SMP, dengan banyak pengalaman unik dari kejadian bodoh yang dilakukan Samson dan Ikal untuk menumbuhkan otot, pengalaman cinta pertamanya Ikal, bakat luar biasa Mahar dan Lintang, dan juga cerita-cerita dimana mereka mengharumkan nama sekolah di acara seperti festival 17 Agustus dan mengalahkan sekolah orang kaya PN di dalam cerdas cermat.

Buku ini menceritakan setiap pengalaman dan cerita-cerita kecil satu-per-satu dengan detil seperti sebuah cerita besarnya rombongan anak yang disebut ‘Laskar Pelangi’. Ya, memang begitu kayaknya, karena memang Laskar Pelangi bukunya.

“Hiduplah untuk memberi yang sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima yang sebanyak-banyaknya. (Pak Harfan)”

Menurut saya, buku ini ditulis dengan semangat bercerita yang luar biasa. Cerita ini merupakan cerita naratif-deskriptif yang sangat deskriptif dan menggunakan Bahasa Indonesia yang mengalir dengan enak dengan sedikit gaya Melayu yang kelihatan. Buku ini juga memiliki makna tentang persahabatan dan ketabahan terhadap apapun yang terjadi. Andrea Hirata benar-benar semangat menceritakan kisah hidupnya, dan bercerita seperti saya. Seperti saya, Andrea Hirata membutuhkan banyak kata untuk menjelaskan sesuatu sehingga benar-benar jelas dan mendeskripsikan sesuatu sehingga benar-benar terbayang. Kekurangan dari ini adalah bahwa pada akhirnya, ini melelahkan, dan semangat menulis yang sangat segar pada awalnya menghilang di akhir buku karena menjadi membosankan. Sama seperti penulisnya, pembacanya juga mulai bosan, dan timeskip serta pergantian POV di awal terasa tidak jelas, namun pada akhirnya memuaskan. Saya sangat menyukai cara menulisnya dan juga menghormati usahanya untuk menggabungkan cerita dengan nostalgia.

Saya merekomendasikan buku ini bagi siapapun yang suka genre roman seperti saya dan bisa mengikuti gaya menulis Andrea Hirata yang enak dibaca (pada awal dan tengah bukunya). Pembacanya juga harus menghadapi tulisan yang penuh dengan majas-majas yang membutuhkan pikiran yang abstrak (seperti saya) dan bisa menangkap semuanya karena kalau tidak, jadinya tidak jelas. Buku ini juga membutuhkan waktu yang lama untuk dibaca, dan menjadi timekiller yang sangat efisien dan penuh dengan cerita-cerita Andrea Hirata yang penuh warna. Semoga makna-makna di dalam buku ini bermanfaat pembacanya.


Thursday, March 3, 2016

7:00 AM - 1 comment

Kehidupan di Sukapada

Semuanya mulai pada tanggal 26 Februari kemarin. Tiba-tiba, di tengah-tengah hari yang cerah itu, kami diberikan tantangan oleh Kak Braja dan Kak Danti. Dalam jangka waktu 2 minggu, kami harus mengunjungi satu kerabat orang tua yang tidak dekat, sendirian. Kami harus bertanya-tanya mengenai kehidupan mereka sehingga profil tokoh bisa dibuat dari informasi tersebut. Oh, kami wajib menggunakan kendaraan umum. Kendaraan on-demand seperti taksi dan ojek online tidak diperbolehkan. Tujuannya agar lebih siap untuk perjalanan besar.

Kelas kami langsung ribut dalam kebingungan. Sebagian bingung karena tidak tahu kerabat yang tidak dekat, dan sebagian lagi bingung karena jarang menggunakan kendaraan umum. Aku, yang pulang setiap hari dengan kombinasi nebeng dan kendaraan umum, tidak khawatir. Beberapa alternatif langsung muncul di kepala. Ada adiknya kakek yang tinggal di Kopo. Ada sepupunya Ibu yang tinggal di Gede Bage. Ada juga tetangga-tetangga aku ketika masih tinggal di Dago. Babari ieu mah.

Setelah pertimbangan dari Ibu, pada akhirnya, aku memilih untuk mengunjungi rumah Bani, teman pramukaku dulu.

Aku belajar dengan cara homeschooling atau sekolah di rumah waktu kelas 5 dan 6. Ada perkumpulan homeschoolers Bandung yang berkumpul setiap hari Kamis untuk pramuka bersama. SKU-nya SKU pramuka biasa, dan materinya juga sama. Walaupun Bani bukan teman yang terdekat di sana, aku cukup kenal dengan anak itu, yang senang bermain dengan yang lain.

Tapi, sekarang Bani sudah masuk ke sebuah pesantren di daerah Cisaranten Kulon. Di sana, ia diwajibkan puasa sunnah setiap hari Senin dan Kamis sehingga hari pramuka diganti menjadi hari Rabu. Resminya, Bani hanya pulang ke rumah satu kali per dua bulan, tapi karena diizinkan mengikuti pramuka, Bani pulang ke rumahnya setiap Rabu.

Ibuku memilih rumah Bani karena setiap hari, tanpa sadar, aku melewati daerah rumahnya. Rumah Bani tidak jauh dari perempatan Cikutra dan P.H.H. Mustopha. Aku kenal daerah situ dengan cukup baik karena angkot jurusan Gd. Bage – Sp. Dago sering ngetem di dekat jembatan di perempatan tersebut. Ternyata ada sungai di area itu! Mungkin aku bisa bertanya ke orang tuanya Bani tentang kehidupan di pinggir sungai itu! Itu ‘kan tema sekarang.

Akhirnya, aku memutuskan untuk ke sana pada hari Rabu, langsung setelah keluar dari sekolah. Aku tidak perlu persiapan yang khusus untuk kunjungan ini, mungkin hanya beberapa pertanyaan.

Saat keluar dari sekolah pada tanggal 3 Maret, aku memutuskan untuk berjalan ke jalan raya karena harus 100% kendaraan umum. Ah, sayang sekali… Padahal bisa hemat ongkos kalau nebeng. Tidak apa-apa… Ternyata, setelah aku berpamitan dengan Ravi dan keluar ke jalan, Krisna dari Kelas Sinabung juga ingin berjalan ke jalan raya untuk pulang ke rumahnya di Margahayu. Bagus, ada teman ngobrol.

Dan ternyata, Martin dan Trystan juga ikut berjalan ke jalan raya, karena ada banyak taksi yang berkumpul di sana. Kami berjalan empatan, dan berbincang mengenai kehidupan dan krisis di sekolah.

Saat sampai di jalan raya, Krisna memegat angkot jurusan Gunung Batu – St. Hall dan masuk ke dalamnya. Aku juga ikut masuk setelah berpamitan dengan Trystan dan Martin. Kami berdua berbincang mengenai hal-hal yang agak random (contohnya jenggotnya Kak Braja) sampai di depan RSHS.

“Kiri!” Angkotnya berhenti.

“Eh, tunggu. Nih!” Krisna memberikanku uang Rp. 2.000. Setelah berpamitan dan berterima kasih untuk perjalanan yang gratis, aku keluar dari angkot tersebut dan mencari angkot jurusan Cicaheum – Ciroyom untuk turun di perempatan Cikutra.

Setelah membuat hitungan dan rencana untuk distribusi uang untuk ongkos, aku memegat salah satu angkot yang lumayan kosong. Aku tahu memasuki angkot yang kosong merupakan pilihan yang salah, tapi tidak ada angkot yang lain. Aku sudah janjian dengan Pak Uhud dan Bu Insania untuk ketemu sekitar jam setengah 3 atau jam 3.

Iya, aku memilih dengan salah. Setelah menghabiskan waktu ngetem di Cipaganti, UNIKOM, dan Gasibu, aku akhirnya sampai di perempatan Cikutra pada jam 3.30-an. Nah, sekarang, tinggal mencari rumahnya… Aku memeriksa alamat yang dikirim ibuku.

Kurang-lebih begini: Cari we itu jln. PHH Mustopa 102, trus tanyain rumah pak uhud. Rumah mereka masuk gg sukapada 2 kitu?. Kade nyebrangna didinya rame pisan. Pak Uhud, Bu Insania, Bani,,Ira,,Naura,,

PHH Mustopa 102? Aku berjalan ke depan Waroeng Upnormal sambil memerhatikan nomor jalan di sebrang. Nah, itu! Di salah satu warung, ada tanda ‘P.H.H. Mustopha no. 102’. Di sebelah warung tersebut, ada tanda ‘Gg. Sukapada I’. Aku langsung berjalan ke sana dengan relative mudah, karena kebetulan jalannya sedang macet.

Aku memasuki gang tersebut dan bertanya ke tukang jahit. “Pak, punten. Bumina Pak Uhud di mana?” Rumahnya Pak Uhud di mana?

“Masuk ka gang alit anu caket warung. Jalan weh, ka ujung. Eta bumina Pak Uhud.” Masuk ke gang kecil yang dekat dengan warung. Jalan aja, sampai ujung. Itu rumahnya Pak Uhud.

Aku bertanya lagi ke ibu yang menjaga warung untuk memastikan. Jawabannya sama. Saat aku masuk ke gang kecil tersebut, langsung terdengar suara. “Kakak atos sholat?” Itu pasti ibunya Bani. Aku mengetok pintu rumahnya dan menunggu sampai pintunya dibuka.

“Eh, Raka.” Pak Uhud membuka pintu rumahnya. “Sok atuh, calik, ‘Ka.” Sok atuh, duduk, ‘Ka. Aku duduk di karpet plastik dengan meja kayu kecil di atasnya. Sudah ada gelas yang dipenuhi teh di atasnya.

Ibunya Bani, dan ketiga adiknya Bani; Ira, Naura, dan Ardi (yang masih 4 bulan usianya) muncul. Ternyata, Bani sudah pergi ke pesantrennya pada jam 2.00, jadi aku tidak bisa bertemu dengannya. Di rumah itu, tidak terdengar suara Bahasa Indonesia kecuali dari game computer yang dimainkan Naura. Keluarga mereka menggunakan Bahasa Sunda.

Sambil meminum teh dan kue yang berada di atas meja tersebut, aku mendengarkan pertanyaan Pak Uhud. Aku bahkan tidak harus memulai pembicaraan karena Pak Uhud memiliki banyak pertanyaan mengenai kehidupan di Ujung Berung, adikku yang tulang lengannya retak, dan juga mengenai sekolah, terutama materi kelas Bahasa Sundanya. (Dan setelah menggalih sedikit, ternyata Pak Uhud bertanya-tanya tentang materi Bahasa Sunda karena beliau adalah guru Bahasa Sunda di SMAN 20.)
Untuk bertanya, aku hanya bertanya hal yang berhubungan dengan topik, sehingga sangat natural. Ketika Pak Uhud tidak bertanya lagi, aku yang merubah topik dan bertanya-tanya. Pokoknya, semuanya berjalan dengan lancar, sampai Maghrib. Iya, kami berdua berbicara untuk waktu yang sangat lama.

Kurang-lebih, beginilah ceritanya.

Jadi, dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, aku bisa mendapatkan informasi yang cukup banyak. Ternyata, Pak Uhud sudah tinggal di rumah itu sejak tahun ’82 setelah pindah dari wilayah Babakan Ciparay. Waktu itu, hanya ada beberapa rumah. Daerah ITENAS, Pribadi, dan bangunan-bangunan lainnya masih merupakan sawah dan kebun. Waktu itu juga bisa berenang dan bermain di Sungai Cidurian, karena airnya masih bersih. Waktu itu, Pak Uhud seumuran anak SMP.

Tapi karena banyak kampus dan sekolah dibangun, banyak rumah dibangun juga, termasuk rumah kost yang dipenuhi mahasiswa. Jadi, intinya, dari masa ke masa, terjadi cukup banyak perubahan di daerah Sukapada.

Sekarang, Sungai Cidurian terkadang banjir. Itu bukan karena sampahnya, tapi karena penebangan pohon di daerah hulunya. Meskipun begitu, Bani pernah menyimpan ayam di sana, dan ayamnya berhasil bertahan hidup dan beranak di kondisi sungai yang tidak terlalu bersih. Aku diajak jalan-jalan ke area sungainya sambil Pak Uhud mendeskripsikan segalanya.

Saat kami kembali ke rumahnya, aku mendengarkan Ira dan Naura menghafal do’a-do’a dan surat. Ternyata, Ira sudah menguasai Juz 29! Adik mereka, Ardi, juga ceria. Walaupun salah satu kuku jempolnya sangat tajam (sehingga melukai diri sendiri), ia terus tertawa dan senyum dihadapanku sambil digendong Pak Uhud atau Ibu Insania.

Aku diajak makan, dan aku ikut makan sambil mengamati ruangnya. Ira dan Naura masih merupakan anak homeschooling, dan ada banyak tanda-tandanya, dari gambar yang ditempel ke dinding, puzzle dan permainan di lemari, serta banyak buku nonfiksi. Tidak terasa, sudah jam 5.00! Aku memutuskan untuk pulang setelah sholat Maghrib nanti, karena masih ada banyak hal yang bisa diceritakan.
Topiknya terus berganti, dan aku dan Pak Uhud terus bercerita. Ada beberapa cerita terkait beberapa anggota keluarga besarnya yang juga tinggal di daerah Sukapada, terkait materi Bahasa Sunda SMA dan sastra Bahasa Sunda, serta terkait Bani dan keluarga intinya. Pokoknya seru lah, 2 jam setengah berbicara dengan Pak Uhud dan keluarganya.

Mereka senang hidup di sana, meskipun kondisinya tidak sebagus dulu. Pak Uhud bisa terus mengajar Bahasa Sunda di SMAN 20, Ibu Insania bisa terus mengikuti pengajian, Ira dan Naura bisa terus melanjutkan homeschooling dan pengajian di madrasah, Bani bisa sekolah di pesantren dan kembali seminggu sekali, dan Ardi bisa tertawa-tertawa dengan ceria. Ya, memang keluarga yang ceria.

Setelah sholat Maghrib berjamaah di Masjid An-Nuur, aku berpamitan dan berterimakasih sebelum keluar dari gang tersebut, nyebrang, dan menaiki angkot Gd. Bage – Sp. Dago. Itu kunjungan yang sangat menyenangkan! Sungguh tidak terasa 2 jam dan 30 menit bersama mereka! Aku bisa pulang dengan informasi baru, buku Baruang Ka Nu Ngarora dan Carita Budak Minggat, serta keresek yang dipenuhi makanan untuk keluargaku, yang menunggu di rumah.

Tuesday, March 1, 2016

4:02 PM - 1 comment

Belajar Tentang Kampung di Tepi Sungai

                








               Pada tanggal 1 Maret kemarin, kira-kira jam 12:45 siang, aku berjalan keluar dari kelas dan melihat dua sosok laki-laki yang tinggi. Siapa itu? Salah satunya adalah Kak Andy, pendiri sekaligus pemilik sekolah, dan laki-laki yang satu lagi mengenakan kaos santai di bawah jaket, dengan rambut yang diikat. Ini pasti narasumber itu, kupikir. Pada tanggal 27 Februari, Kak Danti menyatakan bahwa akan ada narasumber yang datang untuk membahas sungai. Tapi, aku tidak mengucapkan apa-apa dan hanya melewati mereka berdua.

                Kita skip sampai jam 13.10. Semuanya sudah berkumpul di kelas (walaupun 5 menit terlambat), dan Kak Danti tidak ada. Sambil Kak Nala dan Kak Braja berusaha untuk mengondisikan kelas, Kak Danti tiba-tiba masuk. “Ambil catatannya, terus ke perpus.” Katanya.

                Kami ber-18 (minus Kak Braja, yang pergi untuk sholat kayaknya), berjalan ke area perpustakaan di bangunan SD, dan memasuki perpustakaan tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah monitor TV yang menampilkan sebuah presentasi, sebuah whiteboard atau papan tulis di sebelahnya, dan laki-laki yang tadi di antara keduanya.

                Setelah waktu yang cukup lama untuk mengondisikan diri, laki-laki tersebut berkenalan dengan kami. Ternyata, beliau adalah adiknya Kak Danti, yang bernama Kak Dodi. Presentasinya dimulai, dan Kak Braja muncul untuk ikut nonton.

                Intinya, pertanggungjawaban atas peradaban di tepi sungai harus dimantapkan lagi. Tapi kenapa perlu ada pertanggungjawaban?

Kampung-kampung kecil yang berada di tepi sungai merupakan tempat tinggal bagi banyak orang, yang bekerja di sana, walaupun kadang ada bencana seperti banjir. Mereka tetap ingin menetap di sana karena kerjanya dekat, dan sudah ada sistem untuk menghadapi bencana. Dan kalau memang mau pindah tempat tinggal, mau pindah ke mana? Efek urbanisasi telah membuat kota penuh, sehingga kondisi sungai-sungai di tengah kota sudah tidak normal lagi. Sungai digunakan untuk segala hal, dari pembuangan limbah dan kotoran sampai sumber air untuk mencuci pakaian. Sungai sudah menderita. Ini tidak normal.

Dan apa yang dilakukan pemerintah? Normalisasi yang tidak normal. Di daerah Kampung Pulo di tepi Sungai Ciliwung, warga-warga dipindahknan untuk sementara agar lahan di sana dapat dibeton dan tembok beton dapat dibangun agar sungai tidak banjir, serta interaksi antara warga dan sungai berkurang. Namun, ide ‘normalisasi’ yang kurang matang ini mengakibatkan masalah lagi. Kalau airnya sudah masuk ke wilayah yang tertutupi tembok, gimana caranya biar keluar lagi? Beton tidak dapat menyerap air!

Itu hanya salah satu contoh pertanggungjawaban atas peradaban di tepi sungai, namun itu pertanggungjawaban yang gagal. Solusinya ada dua; pembangunan yang vertikal atau perkampungan baru. Tapi, pembangunan apartemen, rumah, dan lain sebagainya secara vertikal bukan solusi yang baik karena potensi kerja akan sangat berkurang. Warung, toko, dan lain sebagainya tidak akan ada lagi.
Jadi, solusi terbaik adalah pembuatan perkampungan baru. Namun, karena pemerintah Indonesia kurang dapat dipercaya untuk hal-hal seperti ini, dan warga kampung yang tinggal di situ, ada satu hal yang wajib. Karena warga kampung yang tinggal di situ, warga kampung yang memutuskan segalanya.

Ini membutuhkan kerjasama yang partisipatif antara pihak pemerintah, pihak warga, dan pihak para arsitek dan pakar. Harus diadakan diskusi-diskusi mengenai infrastruktur, penataan jalan, penataan rumah, dan arsitektur di antara ketiga pihak tersebut. Namun, pihak yang paling dominan adalah pihak warga, yang memutuskan dan merancang semuanya. Arsitek, pakar, dan pemerintah hanya merealisasikan ide-ide mereka sebaik mungkin.

Intinya, karena mereka memang mau (dan oleh karena urbanisasi, memang harus) tinggal di situ, mereka harus bisa bekerjasama dengan pemerintah dan para pakar agar dapat merancang perkampungan baru. Para pakar dan arsitek juga harus melayani kelas sosial rendah, dan justru harus fokus pada itu, bukan pada kelas sosial menengah ke atas. Itu intinya.

Aku baru tahu bahwa ada sistem-sistem cerdas dari warga kampung untuk menghadapi masalah di sungai. Contohnya sistem evakuasi saat banjir di daerah Kampung Pulo. Mereka dapat menebak kapan banjirnya tiba, dan mengungsi setelah menitip barangnya ke tetangga, atau menyimpannya di tempat yang aman. Setelah banjir itu selesai, mereka akan kembali lagi! Keinginan untuk hidup dan sense of belonging-nya sangat kelihatan!

Salah satu contohnya lagi adalah saringan sekaligus sumur yang dibuat di pinggir sungai di Yogyakarta. Ini memanfaatkan konsep bejana berhubungan dan Hukum Pascal. Air sungai masuk ke terowongan yang isinya saringan alami dengan batuan, icuk, dan lain-lain. Setelah melewati saringan, air tersebut akan muncul di sumur, dan diambil. Ini air bersih karena sudah melewati saringan! Cerdas, kan?!

Jadi intinya, aku baru tahu bahwa ternyata, warga yang tinggal di tepi sungai memang mau menetap di sana! Aku baru tahu bahwa mereka memilih beradaptasi dengan kondisi sungai yang begitu daripada pindah tempat tinggal.

Menurutku, ini cukup bagus! Dengan keinginan warga kampung yang begitu besar dan bantuan dari pemerintah dan pihak lain yang bersangkutan, konsep perkampungan baru dapat direalisasikan! Warga-warga yang tinggal di kampung tepi sungai memang sudah tinggal di sana sejak zaman dulu, dan mereka yang tahu paling banyak tentang wilayahnya. Mereka punya kecerdasan yang cukup untuk bertahan hidup di sana.

Menurutku, solusi-solusi cerdas seperti sumur saringan dan sistem evakuasi banjir merupakan bukti bahwa warga kampung dapat diberi tanggung jawab untuk kampungnya sendiri. Mereka dapat bekerjasama dengan pihak yang lain untuk merealisasikan program perkampungan baru.

Presentasinya narasumber kami, Kak Dodi, memberikanku harapan untuk proyek dan program rehabilitasi sungai yang kelihatannya mustahil. Kerjasama adalah satu unsur yang paling penting. Setidaknya, kita bisa menerapkan ini ke dalam kehidupan sehari-hari, agar pesan ‘KERJASAMA’ tersebar luas.


Semoga harapan untuk masa depan sungai dan kampung di tepinya tidak menghilang, dan semoga kita semua bisa setidaknya berusaha untuk bekerjasama. Amin.

Thursday, February 18, 2016

4:49 PM - 1 comment

Hidup di Bayangan Kembar


JacobIHaveLovedBookCover.jpg
Judul Buku: Jacob Have I Loved
Copyright: Katherine Paterson
ISBN: 0690040784
Genre: Buku Remaja
Penerbit: Crowell, 1980. Fitzgerald Books, 2007.
Ilustrasi: Chris Sheban
Jumlah Halaman: 216

  Kehidupan di pulau kecil adalah kehidupan yang terbatas. Pekerjaan bagi generasi muda terbatas, teman terbatas, dan teknologi pulau juga terbatas. Pada tahun 40’an, di Pulau Rass, yang berada di Chesapeake Bay, masa depan hampir semua anak laki-laki adalah nelayan, dan masa depan hampir semua anak perempuan adalah ibu rumah tangga. Kehidupannya memang sangat terbatas.

  Sara Louise Bradshaw, biasa dipanggil “Louise” atau “Wheeze”, adalah salah satu anggota keluarga Bradshaw, yang terdiri dari 5 anggota. Selain Louise, ada juga Truitt; bapaknya, yang bekerja sebagai nelayan, Susan; ibunya, ibu rumah tangga, Nenek Bradshaw; nenek yang sangat religius, dan Caroline; kembarnya Louise, yang lebih cantik, lebih pintar, dan jauh lebih berbakat dibanding Louise.

  Caroline dianggap sebagai keajaiban karena hampir meninggal saat lahir, dan diberi perhatian oleh semua orang sampai waktu remajanya, sedangkan Louise terpaksa ‘hidup di bayangan’ kembarnya, diabaikan. Caroline menghabiskan uang yang cukup banyak untuk les piano dan les vokalnya, dan uang ini dihasilkan Louise dan teman lamanya, McCall Purnell; biasa dipanggil “Call”.

  Call adalah satu-satunya teman Louise, walaupun selera humornya garing, dan sangat membosankan. Mereka berdua memancing, dan menjual hasilnya untuk keluarga mereka. Louise bekerja keras, tapi Caroline malah menyia-nyiakan uang hasil kerjanya. Louise merasa diabaikan dan tidak diberi apresiasi. Ada banyak kejadian memalukan dimana Louise tidak sengaja melakukan hal yang kacau, sedangkan Caroline si keajaiban mengejeknya. Louise ingin segera pergi dan mencari kebahagiaan di luar sana.

  Satu-per-satu, Caroline ‘mencuri’ semua hal yang Louise miliki. Caroline mengambil barang-barang yang dibeli oleh uang hasil Louise, mengambil perhatian dari hampir semua orang, dan bahkan sampai mengambil teman-teman Louise; Call, dan Hiram “Kapten” Wallace, kakek-kakek tua yang baru pindah ke pulau Rass. Louise juga mulai ingin pergi kuliah dan meninggalkan pulau Rass.

  Akhirnya, Caroline pergi untuk kuliah ke sekolah musik, dan Louise terpaksa menetap di rumah, sambil merawat neneknya yang sering marah-marah. Louise melepaskan semua emosi yang terpendam ke ibunya, dan akhirnya ada yang mengerti Louise. Sebenarnya, Louise boleh-boleh saja pergi dari Rass, tapi tidak mengungkapkan apa-apa ke orang tuanya. Louise bertanya, “Ibu sama Ayah nanti merindukanku seperti Caroline, tidak?”

  Jawabannya adalah, “lebih.”

  Louise pada akhirnya kuliah dalam bidang kebidanan di Universitas Kentucky, dan dikirim ke satu 
kota di pegunungan yang terisolasi dan tidak memiliki dokter. Louise pada akhirnya menikah dengan seorang duda, dan menemukan kebahagiaan di kota itu.

“Jacob have I Loved, but Esau have I Hated.”

  Itu adalah satu kalimat dalam Al-Kitab, yang menurut Louise, cocok dengan kehidupannya. Louise merasa seperti Esau, dibenci semua orang, dan hidup di bayangan saudaranya, yang dicintai semua orang.

  Buku ini kurang-lebih begitu.

  Menurut saya, buku ini kurang seru, karena kurang banyak kejadian yang menarik. Buku ini dipenuhi banyak adegan dimana Caroline > Louise, sehingga saya muak membacanya, dan ikut membenci Caroline. Penulisan di buku ini membuat pembaca simpatik dengan Louise, sehingga makna buku ini lebih terasa. Walaupun begitu, menurut saya, kurang banyak konflik antara Louise dan Caroline, mungkin karena Caroline kurang peka.


  Saya merekomendasikan buku ini ke siapapun yang merasa iri dengan orang lain, karena pada akhirnya, bila sabar, semua orang akan menemukan kebahagiaannya. Mungkin buku ini akan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang merasa iri. Saya tidak merasa begitu, jadi kurang merasa inti ceritanya. Selain itu, buku ini adalah buku yang bagus sebagai bahan bacaan yang berukuran sedang dan cerita yang menarik.

Credits to Arvin Keisan

Wednesday, February 10, 2016

8:22 PM - 2 comments

“Yo-ho-ho, dan sebotol rum!”

Image result for treasure island bahasa indonesia
Judul Buku: Treasure Island
Copyright: Robert Louis Stevenson, Cassel & Co 1883
ISBN: 978-979-024-465-8
Genre: Fiksi Adventure, Klasik, sastra young-adult (remaja)
Penerbit: Atria
Alih Bahasa: Mutia Dharma
Editor: Ida Wajdi & Pujia Pernami
Ilustrasi: Ella Elviani
Desain Cover: Hadi Mahfudin
Cetakan I: April 2011; 196 halaman

  Bajak laut. Apa yang dibayangkan ketika mendengar kata itu? Mau tidak mau kau pasti membayangkan petualang lautan yang ganas, yang hidup dengan liar, tanpa memedulikan esok hari dan hanya takut kepada tiang gantungan. Mereka menjalani kehidupan yang berbahaya dengan mengikuti peta harta karun yang ditanda dengan ‘X’ besar di pulau tropikal. Ada pelaut yang berkaki satu, dengan burung beo di pundaknya yang berbicara dengan kasar. Ini persepsi ‘bajak laut’ secara umum, dan percaya atau tidak, persepsi ini berasal dari buku Treasure Island karya Robert Louis Stevenson yang merupakan salah satu buku klasik terpopuler.

  Cerita yang dipisah menjadi 6 bagian ini mengikuti kehidupan Jim Hawkins, remaja berumur 17 tahun yang membantu ayahnya menjalani Admiral Benbow, penginapan mereka. Kehidupan Jim Hawkins adalah kehidupan yang biasa-biasa saja, tapi muncullah “Sang Kapten” Billy Bones, seorang bajak laut tua yang sering mabuk dan membuat ribut di penginapan Admiral Benbow.

  Sang Kapten membayar Jim beberapa penny agar dia waspada terhadap pelaut berkaki satu. Saat Sang Kapten mabuk, seorang pelaut datang dan mengagetkan Sang Kapten sehingga struk. Sang Kapten menjelaskan bahwa ada beberapa pelaut yang menginginkan isi petinya. Saat pelaut yang lain datang, Sang Kapten kena struk lagi dan meninggal. Jim dan ibunya membuka petinya dan menemukan uang, jurnal, dan sebuah peta. Setelah diskusi yang panjang, dokter lokal, Dr. Livesey menduga bahwa peta itu adalah peta harta karun bajak laut terkenal, Kapten Flint. Hakim Trelawney memutuskan untuk pergi mencari hartanya. Livesey menjadi dokter kapal, dan Jim menjadi awak kabin.

  Mereka merekrut banyak orang ke dalam kru kecil mereka, termasuk pengemudi yang hebat bernama Israel Hands, dan juru masak berkaki satu bernama Long John Silver yang menggunakan kruk untuk jalan dan memiliki burung beo yang berbicara di pundaknya. Jim tidak menyangka bahwa Silver adalah ‘pelaut berkaki satu’ yang diwaspadai Sang Kapten, karena Silver terlihat baik dan hebat. Mereka mulai berlayar di kapal Hispaniola ke pulau tropikal yang jauh dari Inggris. Pada suatu malam, Jim bersembunyi di barel apel, dan menguping Silver dan beberapa pelaut yang lain. Mereka semua adalah bajak laut, dan mereka berencana untuk berkhianat. Jim memberi tahu ini ke Dr. Livesey, Hakim Trelawney, Kapten Smollett, dan beberapa orang lain yang akan berpura-pura tidak tahu apa-apa sebelum sampai di pulau.

  Saat sampai di pulau, beberapa orang yang melawan Silver dibunuh. Jim menjadi salah satu saksi pembunuhan itu, dan kabur ke dalam hutan tropis sedangkan yang lain masih berada di kapal. Jim bertemu dengan Ben Gunn, mantan bajak laut yang kurang waras yang ditinggalkan di pulau itu. Ben Gunn berjanji akan membantu melawan Silver dan para pengkhianat bila diberi keju, sepotong harta, dan boleh ikut pulang.

  Sambil Jim membuat perjanjian dengan Ben Gunn, Kapten Smollett, Hakim Trelawney, Abraham Gray, dan Dr. Livesey turun dari kapal untuk memasuki benteng. Orang-orang yang masih ada di kapal, termasuk pengemudinya, Israel Hands, menaikkan bendera bajak laut. Beberapa orang meninggal dalam pertempuran sebelum Jim sampai di benteng.

  Pada malam itu, Silver datang ke benteng di bawah bendera putih untuk membuat perjanjian dengan Kapten Smollett untuk petanya. Smollett tidak setuju dan pada akhirnya, ada pertempuran lagi, di mana beberapa orang meninggal, dan Smollett terluka. Jim memutuskan untuk kabur dengan menggunakan perahu buatan Ben Gunn. Jim memotong tali kapal Hispaniola sehingga kapalnya lepas.

  Besoknya, Jim menemukan kapal itu lagi, dan saat menaikinya, dia bertemu dengan Israel Hands, yang baru membunuh temannya, O’Brien. Mereka membuat kesepakatan untuk bekerja sama agar bisa kembali ke pulau harta karun. Hands berusaha untuk membunuh Jim, tapi akhirnya Hands yang tenggelam dalam upaya membunuh Jim. Jim kembali ke pulau sendirian dan memasuki benteng dan bertemu dengan Silver dan beberapa temannya!

  Ternyata, setelah Jim menghilang, sang kapten akhirnya memberikan petanya kepada Silver dan para pengkhianat. Jim disandera mereka, dan membantu mencari harta karunnya. Saat mereka menemukan tempat harta karunnya, ternyata kosong! Para pengkhianat menerjang ke arah Silver dan Jim saking marahnya, tapi mereka ditembak Gray, Gunn, dan Dr. Livesey. Livesey menjelaskan bahwa Gunn sudah membawa hartanya dan menyembunyikannya.

  Para pengkhianat yang masih hidup ditinggalkan di pulau tersebut kecuali Silver, yang dibawa. Tapi Silver kabur dan membawa beberapa kantong untuk dirinya sendiri. Yang lain kembali ke Bristol dan membagi hartanya. Masih ada sedikit lagi di pulaunya, tapi tidak ada yang berani kembali ke sana untuk mengambilnya.

  Cerita ini kurang lebih begitu.

  Buku ini memiliki aura khas bajak laut dan petualangan. Buku karangan Robert Louis Stevenson ini adalah buku pertama dengan konsep bajak laut dan peta harta karun, yang mempengaruhi pandangan semua orang terhadap bajak laut. Konsep ini merupakan konsep yang jenius, sehingga sekarang, kita semua membayangkan bajak laut seperti bajak laut di Treasure Island.

  Namun, ketika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, aura bajak laut itu menghilang sedikit karena kata-kata kasar dan ‘slang’-nya para bajak laut menghilang sedikit. Ini wajar, tapi mengecewakan, menurut saya, karena gaya Bahasa uniknya para bajak laut jadi kaku dan agak datar. Upaya untuk menerjemahkan ‘slang’ ini gagal rupanya. Kata ‘tugas’ menjadi ‘tuggas’ sehingga terdengar aneh. Ada juga kata ‘goblog’ di dalam bukunya, yang menurut saya, terlalu kasar untuk buku remaja dan anak-anak seperti ini.

 Selain itu, saya tidak punya keluhan lain, karena kisahnya sangat menarik dan penuh dengan petualangan unik. Ada juga tokoh yang unik dan bermuka dua seperti Silver dan banyak tokoh pendukung lainnya yang juga unik, bahkan lebih unik dari protagonisnya, Jim, yang kurang memiliki daya tarik.


“Lima belas orang di peti mati – Yo ho ho, dan sebotol rum!
  Minumlah dan biarkan iblis beraksi – Yo ho ho, dan sebotol rum!”


  Menurut saya, kisah ini menarik dan direkomendasi untuk orang-orang yang suka konsep bajak laut dan petualangan mencari harta karun, atau untuk orang yang suka buku petualangan secara umum. Saya memberi buku ini rating 4/5, karena walaupun sangat menarik, saya kurang tegang dan heboh saat membacanya entah karena terjemahannya, atau karena plot yang kurang menegangkan. Selain itu, saya merekomendasikan cerita ini untuk semua pecinta buku klasik dan buku petualangan.