Thursday, March 3, 2016

7:00 AM - 1 comment

Kehidupan di Sukapada

Semuanya mulai pada tanggal 26 Februari kemarin. Tiba-tiba, di tengah-tengah hari yang cerah itu, kami diberikan tantangan oleh Kak Braja dan Kak Danti. Dalam jangka waktu 2 minggu, kami harus mengunjungi satu kerabat orang tua yang tidak dekat, sendirian. Kami harus bertanya-tanya mengenai kehidupan mereka sehingga profil tokoh bisa dibuat dari informasi tersebut. Oh, kami wajib menggunakan kendaraan umum. Kendaraan on-demand seperti taksi dan ojek online tidak diperbolehkan. Tujuannya agar lebih siap untuk perjalanan besar.

Kelas kami langsung ribut dalam kebingungan. Sebagian bingung karena tidak tahu kerabat yang tidak dekat, dan sebagian lagi bingung karena jarang menggunakan kendaraan umum. Aku, yang pulang setiap hari dengan kombinasi nebeng dan kendaraan umum, tidak khawatir. Beberapa alternatif langsung muncul di kepala. Ada adiknya kakek yang tinggal di Kopo. Ada sepupunya Ibu yang tinggal di Gede Bage. Ada juga tetangga-tetangga aku ketika masih tinggal di Dago. Babari ieu mah.

Setelah pertimbangan dari Ibu, pada akhirnya, aku memilih untuk mengunjungi rumah Bani, teman pramukaku dulu.

Aku belajar dengan cara homeschooling atau sekolah di rumah waktu kelas 5 dan 6. Ada perkumpulan homeschoolers Bandung yang berkumpul setiap hari Kamis untuk pramuka bersama. SKU-nya SKU pramuka biasa, dan materinya juga sama. Walaupun Bani bukan teman yang terdekat di sana, aku cukup kenal dengan anak itu, yang senang bermain dengan yang lain.

Tapi, sekarang Bani sudah masuk ke sebuah pesantren di daerah Cisaranten Kulon. Di sana, ia diwajibkan puasa sunnah setiap hari Senin dan Kamis sehingga hari pramuka diganti menjadi hari Rabu. Resminya, Bani hanya pulang ke rumah satu kali per dua bulan, tapi karena diizinkan mengikuti pramuka, Bani pulang ke rumahnya setiap Rabu.

Ibuku memilih rumah Bani karena setiap hari, tanpa sadar, aku melewati daerah rumahnya. Rumah Bani tidak jauh dari perempatan Cikutra dan P.H.H. Mustopha. Aku kenal daerah situ dengan cukup baik karena angkot jurusan Gd. Bage – Sp. Dago sering ngetem di dekat jembatan di perempatan tersebut. Ternyata ada sungai di area itu! Mungkin aku bisa bertanya ke orang tuanya Bani tentang kehidupan di pinggir sungai itu! Itu ‘kan tema sekarang.

Akhirnya, aku memutuskan untuk ke sana pada hari Rabu, langsung setelah keluar dari sekolah. Aku tidak perlu persiapan yang khusus untuk kunjungan ini, mungkin hanya beberapa pertanyaan.

Saat keluar dari sekolah pada tanggal 3 Maret, aku memutuskan untuk berjalan ke jalan raya karena harus 100% kendaraan umum. Ah, sayang sekali… Padahal bisa hemat ongkos kalau nebeng. Tidak apa-apa… Ternyata, setelah aku berpamitan dengan Ravi dan keluar ke jalan, Krisna dari Kelas Sinabung juga ingin berjalan ke jalan raya untuk pulang ke rumahnya di Margahayu. Bagus, ada teman ngobrol.

Dan ternyata, Martin dan Trystan juga ikut berjalan ke jalan raya, karena ada banyak taksi yang berkumpul di sana. Kami berjalan empatan, dan berbincang mengenai kehidupan dan krisis di sekolah.

Saat sampai di jalan raya, Krisna memegat angkot jurusan Gunung Batu – St. Hall dan masuk ke dalamnya. Aku juga ikut masuk setelah berpamitan dengan Trystan dan Martin. Kami berdua berbincang mengenai hal-hal yang agak random (contohnya jenggotnya Kak Braja) sampai di depan RSHS.

“Kiri!” Angkotnya berhenti.

“Eh, tunggu. Nih!” Krisna memberikanku uang Rp. 2.000. Setelah berpamitan dan berterima kasih untuk perjalanan yang gratis, aku keluar dari angkot tersebut dan mencari angkot jurusan Cicaheum – Ciroyom untuk turun di perempatan Cikutra.

Setelah membuat hitungan dan rencana untuk distribusi uang untuk ongkos, aku memegat salah satu angkot yang lumayan kosong. Aku tahu memasuki angkot yang kosong merupakan pilihan yang salah, tapi tidak ada angkot yang lain. Aku sudah janjian dengan Pak Uhud dan Bu Insania untuk ketemu sekitar jam setengah 3 atau jam 3.

Iya, aku memilih dengan salah. Setelah menghabiskan waktu ngetem di Cipaganti, UNIKOM, dan Gasibu, aku akhirnya sampai di perempatan Cikutra pada jam 3.30-an. Nah, sekarang, tinggal mencari rumahnya… Aku memeriksa alamat yang dikirim ibuku.

Kurang-lebih begini: Cari we itu jln. PHH Mustopa 102, trus tanyain rumah pak uhud. Rumah mereka masuk gg sukapada 2 kitu?. Kade nyebrangna didinya rame pisan. Pak Uhud, Bu Insania, Bani,,Ira,,Naura,,

PHH Mustopa 102? Aku berjalan ke depan Waroeng Upnormal sambil memerhatikan nomor jalan di sebrang. Nah, itu! Di salah satu warung, ada tanda ‘P.H.H. Mustopha no. 102’. Di sebelah warung tersebut, ada tanda ‘Gg. Sukapada I’. Aku langsung berjalan ke sana dengan relative mudah, karena kebetulan jalannya sedang macet.

Aku memasuki gang tersebut dan bertanya ke tukang jahit. “Pak, punten. Bumina Pak Uhud di mana?” Rumahnya Pak Uhud di mana?

“Masuk ka gang alit anu caket warung. Jalan weh, ka ujung. Eta bumina Pak Uhud.” Masuk ke gang kecil yang dekat dengan warung. Jalan aja, sampai ujung. Itu rumahnya Pak Uhud.

Aku bertanya lagi ke ibu yang menjaga warung untuk memastikan. Jawabannya sama. Saat aku masuk ke gang kecil tersebut, langsung terdengar suara. “Kakak atos sholat?” Itu pasti ibunya Bani. Aku mengetok pintu rumahnya dan menunggu sampai pintunya dibuka.

“Eh, Raka.” Pak Uhud membuka pintu rumahnya. “Sok atuh, calik, ‘Ka.” Sok atuh, duduk, ‘Ka. Aku duduk di karpet plastik dengan meja kayu kecil di atasnya. Sudah ada gelas yang dipenuhi teh di atasnya.

Ibunya Bani, dan ketiga adiknya Bani; Ira, Naura, dan Ardi (yang masih 4 bulan usianya) muncul. Ternyata, Bani sudah pergi ke pesantrennya pada jam 2.00, jadi aku tidak bisa bertemu dengannya. Di rumah itu, tidak terdengar suara Bahasa Indonesia kecuali dari game computer yang dimainkan Naura. Keluarga mereka menggunakan Bahasa Sunda.

Sambil meminum teh dan kue yang berada di atas meja tersebut, aku mendengarkan pertanyaan Pak Uhud. Aku bahkan tidak harus memulai pembicaraan karena Pak Uhud memiliki banyak pertanyaan mengenai kehidupan di Ujung Berung, adikku yang tulang lengannya retak, dan juga mengenai sekolah, terutama materi kelas Bahasa Sundanya. (Dan setelah menggalih sedikit, ternyata Pak Uhud bertanya-tanya tentang materi Bahasa Sunda karena beliau adalah guru Bahasa Sunda di SMAN 20.)
Untuk bertanya, aku hanya bertanya hal yang berhubungan dengan topik, sehingga sangat natural. Ketika Pak Uhud tidak bertanya lagi, aku yang merubah topik dan bertanya-tanya. Pokoknya, semuanya berjalan dengan lancar, sampai Maghrib. Iya, kami berdua berbicara untuk waktu yang sangat lama.

Kurang-lebih, beginilah ceritanya.

Jadi, dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, aku bisa mendapatkan informasi yang cukup banyak. Ternyata, Pak Uhud sudah tinggal di rumah itu sejak tahun ’82 setelah pindah dari wilayah Babakan Ciparay. Waktu itu, hanya ada beberapa rumah. Daerah ITENAS, Pribadi, dan bangunan-bangunan lainnya masih merupakan sawah dan kebun. Waktu itu juga bisa berenang dan bermain di Sungai Cidurian, karena airnya masih bersih. Waktu itu, Pak Uhud seumuran anak SMP.

Tapi karena banyak kampus dan sekolah dibangun, banyak rumah dibangun juga, termasuk rumah kost yang dipenuhi mahasiswa. Jadi, intinya, dari masa ke masa, terjadi cukup banyak perubahan di daerah Sukapada.

Sekarang, Sungai Cidurian terkadang banjir. Itu bukan karena sampahnya, tapi karena penebangan pohon di daerah hulunya. Meskipun begitu, Bani pernah menyimpan ayam di sana, dan ayamnya berhasil bertahan hidup dan beranak di kondisi sungai yang tidak terlalu bersih. Aku diajak jalan-jalan ke area sungainya sambil Pak Uhud mendeskripsikan segalanya.

Saat kami kembali ke rumahnya, aku mendengarkan Ira dan Naura menghafal do’a-do’a dan surat. Ternyata, Ira sudah menguasai Juz 29! Adik mereka, Ardi, juga ceria. Walaupun salah satu kuku jempolnya sangat tajam (sehingga melukai diri sendiri), ia terus tertawa dan senyum dihadapanku sambil digendong Pak Uhud atau Ibu Insania.

Aku diajak makan, dan aku ikut makan sambil mengamati ruangnya. Ira dan Naura masih merupakan anak homeschooling, dan ada banyak tanda-tandanya, dari gambar yang ditempel ke dinding, puzzle dan permainan di lemari, serta banyak buku nonfiksi. Tidak terasa, sudah jam 5.00! Aku memutuskan untuk pulang setelah sholat Maghrib nanti, karena masih ada banyak hal yang bisa diceritakan.
Topiknya terus berganti, dan aku dan Pak Uhud terus bercerita. Ada beberapa cerita terkait beberapa anggota keluarga besarnya yang juga tinggal di daerah Sukapada, terkait materi Bahasa Sunda SMA dan sastra Bahasa Sunda, serta terkait Bani dan keluarga intinya. Pokoknya seru lah, 2 jam setengah berbicara dengan Pak Uhud dan keluarganya.

Mereka senang hidup di sana, meskipun kondisinya tidak sebagus dulu. Pak Uhud bisa terus mengajar Bahasa Sunda di SMAN 20, Ibu Insania bisa terus mengikuti pengajian, Ira dan Naura bisa terus melanjutkan homeschooling dan pengajian di madrasah, Bani bisa sekolah di pesantren dan kembali seminggu sekali, dan Ardi bisa tertawa-tertawa dengan ceria. Ya, memang keluarga yang ceria.

Setelah sholat Maghrib berjamaah di Masjid An-Nuur, aku berpamitan dan berterimakasih sebelum keluar dari gang tersebut, nyebrang, dan menaiki angkot Gd. Bage – Sp. Dago. Itu kunjungan yang sangat menyenangkan! Sungguh tidak terasa 2 jam dan 30 menit bersama mereka! Aku bisa pulang dengan informasi baru, buku Baruang Ka Nu Ngarora dan Carita Budak Minggat, serta keresek yang dipenuhi makanan untuk keluargaku, yang menunggu di rumah.

Tuesday, March 1, 2016

4:02 PM - 1 comment

Belajar Tentang Kampung di Tepi Sungai

                








               Pada tanggal 1 Maret kemarin, kira-kira jam 12:45 siang, aku berjalan keluar dari kelas dan melihat dua sosok laki-laki yang tinggi. Siapa itu? Salah satunya adalah Kak Andy, pendiri sekaligus pemilik sekolah, dan laki-laki yang satu lagi mengenakan kaos santai di bawah jaket, dengan rambut yang diikat. Ini pasti narasumber itu, kupikir. Pada tanggal 27 Februari, Kak Danti menyatakan bahwa akan ada narasumber yang datang untuk membahas sungai. Tapi, aku tidak mengucapkan apa-apa dan hanya melewati mereka berdua.

                Kita skip sampai jam 13.10. Semuanya sudah berkumpul di kelas (walaupun 5 menit terlambat), dan Kak Danti tidak ada. Sambil Kak Nala dan Kak Braja berusaha untuk mengondisikan kelas, Kak Danti tiba-tiba masuk. “Ambil catatannya, terus ke perpus.” Katanya.

                Kami ber-18 (minus Kak Braja, yang pergi untuk sholat kayaknya), berjalan ke area perpustakaan di bangunan SD, dan memasuki perpustakaan tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah monitor TV yang menampilkan sebuah presentasi, sebuah whiteboard atau papan tulis di sebelahnya, dan laki-laki yang tadi di antara keduanya.

                Setelah waktu yang cukup lama untuk mengondisikan diri, laki-laki tersebut berkenalan dengan kami. Ternyata, beliau adalah adiknya Kak Danti, yang bernama Kak Dodi. Presentasinya dimulai, dan Kak Braja muncul untuk ikut nonton.

                Intinya, pertanggungjawaban atas peradaban di tepi sungai harus dimantapkan lagi. Tapi kenapa perlu ada pertanggungjawaban?

Kampung-kampung kecil yang berada di tepi sungai merupakan tempat tinggal bagi banyak orang, yang bekerja di sana, walaupun kadang ada bencana seperti banjir. Mereka tetap ingin menetap di sana karena kerjanya dekat, dan sudah ada sistem untuk menghadapi bencana. Dan kalau memang mau pindah tempat tinggal, mau pindah ke mana? Efek urbanisasi telah membuat kota penuh, sehingga kondisi sungai-sungai di tengah kota sudah tidak normal lagi. Sungai digunakan untuk segala hal, dari pembuangan limbah dan kotoran sampai sumber air untuk mencuci pakaian. Sungai sudah menderita. Ini tidak normal.

Dan apa yang dilakukan pemerintah? Normalisasi yang tidak normal. Di daerah Kampung Pulo di tepi Sungai Ciliwung, warga-warga dipindahknan untuk sementara agar lahan di sana dapat dibeton dan tembok beton dapat dibangun agar sungai tidak banjir, serta interaksi antara warga dan sungai berkurang. Namun, ide ‘normalisasi’ yang kurang matang ini mengakibatkan masalah lagi. Kalau airnya sudah masuk ke wilayah yang tertutupi tembok, gimana caranya biar keluar lagi? Beton tidak dapat menyerap air!

Itu hanya salah satu contoh pertanggungjawaban atas peradaban di tepi sungai, namun itu pertanggungjawaban yang gagal. Solusinya ada dua; pembangunan yang vertikal atau perkampungan baru. Tapi, pembangunan apartemen, rumah, dan lain sebagainya secara vertikal bukan solusi yang baik karena potensi kerja akan sangat berkurang. Warung, toko, dan lain sebagainya tidak akan ada lagi.
Jadi, solusi terbaik adalah pembuatan perkampungan baru. Namun, karena pemerintah Indonesia kurang dapat dipercaya untuk hal-hal seperti ini, dan warga kampung yang tinggal di situ, ada satu hal yang wajib. Karena warga kampung yang tinggal di situ, warga kampung yang memutuskan segalanya.

Ini membutuhkan kerjasama yang partisipatif antara pihak pemerintah, pihak warga, dan pihak para arsitek dan pakar. Harus diadakan diskusi-diskusi mengenai infrastruktur, penataan jalan, penataan rumah, dan arsitektur di antara ketiga pihak tersebut. Namun, pihak yang paling dominan adalah pihak warga, yang memutuskan dan merancang semuanya. Arsitek, pakar, dan pemerintah hanya merealisasikan ide-ide mereka sebaik mungkin.

Intinya, karena mereka memang mau (dan oleh karena urbanisasi, memang harus) tinggal di situ, mereka harus bisa bekerjasama dengan pemerintah dan para pakar agar dapat merancang perkampungan baru. Para pakar dan arsitek juga harus melayani kelas sosial rendah, dan justru harus fokus pada itu, bukan pada kelas sosial menengah ke atas. Itu intinya.

Aku baru tahu bahwa ada sistem-sistem cerdas dari warga kampung untuk menghadapi masalah di sungai. Contohnya sistem evakuasi saat banjir di daerah Kampung Pulo. Mereka dapat menebak kapan banjirnya tiba, dan mengungsi setelah menitip barangnya ke tetangga, atau menyimpannya di tempat yang aman. Setelah banjir itu selesai, mereka akan kembali lagi! Keinginan untuk hidup dan sense of belonging-nya sangat kelihatan!

Salah satu contohnya lagi adalah saringan sekaligus sumur yang dibuat di pinggir sungai di Yogyakarta. Ini memanfaatkan konsep bejana berhubungan dan Hukum Pascal. Air sungai masuk ke terowongan yang isinya saringan alami dengan batuan, icuk, dan lain-lain. Setelah melewati saringan, air tersebut akan muncul di sumur, dan diambil. Ini air bersih karena sudah melewati saringan! Cerdas, kan?!

Jadi intinya, aku baru tahu bahwa ternyata, warga yang tinggal di tepi sungai memang mau menetap di sana! Aku baru tahu bahwa mereka memilih beradaptasi dengan kondisi sungai yang begitu daripada pindah tempat tinggal.

Menurutku, ini cukup bagus! Dengan keinginan warga kampung yang begitu besar dan bantuan dari pemerintah dan pihak lain yang bersangkutan, konsep perkampungan baru dapat direalisasikan! Warga-warga yang tinggal di kampung tepi sungai memang sudah tinggal di sana sejak zaman dulu, dan mereka yang tahu paling banyak tentang wilayahnya. Mereka punya kecerdasan yang cukup untuk bertahan hidup di sana.

Menurutku, solusi-solusi cerdas seperti sumur saringan dan sistem evakuasi banjir merupakan bukti bahwa warga kampung dapat diberi tanggung jawab untuk kampungnya sendiri. Mereka dapat bekerjasama dengan pihak yang lain untuk merealisasikan program perkampungan baru.

Presentasinya narasumber kami, Kak Dodi, memberikanku harapan untuk proyek dan program rehabilitasi sungai yang kelihatannya mustahil. Kerjasama adalah satu unsur yang paling penting. Setidaknya, kita bisa menerapkan ini ke dalam kehidupan sehari-hari, agar pesan ‘KERJASAMA’ tersebar luas.


Semoga harapan untuk masa depan sungai dan kampung di tepinya tidak menghilang, dan semoga kita semua bisa setidaknya berusaha untuk bekerjasama. Amin.