Tuesday, March 1, 2016

4:02 PM - 1 comment

Belajar Tentang Kampung di Tepi Sungai

                








               Pada tanggal 1 Maret kemarin, kira-kira jam 12:45 siang, aku berjalan keluar dari kelas dan melihat dua sosok laki-laki yang tinggi. Siapa itu? Salah satunya adalah Kak Andy, pendiri sekaligus pemilik sekolah, dan laki-laki yang satu lagi mengenakan kaos santai di bawah jaket, dengan rambut yang diikat. Ini pasti narasumber itu, kupikir. Pada tanggal 27 Februari, Kak Danti menyatakan bahwa akan ada narasumber yang datang untuk membahas sungai. Tapi, aku tidak mengucapkan apa-apa dan hanya melewati mereka berdua.

                Kita skip sampai jam 13.10. Semuanya sudah berkumpul di kelas (walaupun 5 menit terlambat), dan Kak Danti tidak ada. Sambil Kak Nala dan Kak Braja berusaha untuk mengondisikan kelas, Kak Danti tiba-tiba masuk. “Ambil catatannya, terus ke perpus.” Katanya.

                Kami ber-18 (minus Kak Braja, yang pergi untuk sholat kayaknya), berjalan ke area perpustakaan di bangunan SD, dan memasuki perpustakaan tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah monitor TV yang menampilkan sebuah presentasi, sebuah whiteboard atau papan tulis di sebelahnya, dan laki-laki yang tadi di antara keduanya.

                Setelah waktu yang cukup lama untuk mengondisikan diri, laki-laki tersebut berkenalan dengan kami. Ternyata, beliau adalah adiknya Kak Danti, yang bernama Kak Dodi. Presentasinya dimulai, dan Kak Braja muncul untuk ikut nonton.

                Intinya, pertanggungjawaban atas peradaban di tepi sungai harus dimantapkan lagi. Tapi kenapa perlu ada pertanggungjawaban?

Kampung-kampung kecil yang berada di tepi sungai merupakan tempat tinggal bagi banyak orang, yang bekerja di sana, walaupun kadang ada bencana seperti banjir. Mereka tetap ingin menetap di sana karena kerjanya dekat, dan sudah ada sistem untuk menghadapi bencana. Dan kalau memang mau pindah tempat tinggal, mau pindah ke mana? Efek urbanisasi telah membuat kota penuh, sehingga kondisi sungai-sungai di tengah kota sudah tidak normal lagi. Sungai digunakan untuk segala hal, dari pembuangan limbah dan kotoran sampai sumber air untuk mencuci pakaian. Sungai sudah menderita. Ini tidak normal.

Dan apa yang dilakukan pemerintah? Normalisasi yang tidak normal. Di daerah Kampung Pulo di tepi Sungai Ciliwung, warga-warga dipindahknan untuk sementara agar lahan di sana dapat dibeton dan tembok beton dapat dibangun agar sungai tidak banjir, serta interaksi antara warga dan sungai berkurang. Namun, ide ‘normalisasi’ yang kurang matang ini mengakibatkan masalah lagi. Kalau airnya sudah masuk ke wilayah yang tertutupi tembok, gimana caranya biar keluar lagi? Beton tidak dapat menyerap air!

Itu hanya salah satu contoh pertanggungjawaban atas peradaban di tepi sungai, namun itu pertanggungjawaban yang gagal. Solusinya ada dua; pembangunan yang vertikal atau perkampungan baru. Tapi, pembangunan apartemen, rumah, dan lain sebagainya secara vertikal bukan solusi yang baik karena potensi kerja akan sangat berkurang. Warung, toko, dan lain sebagainya tidak akan ada lagi.
Jadi, solusi terbaik adalah pembuatan perkampungan baru. Namun, karena pemerintah Indonesia kurang dapat dipercaya untuk hal-hal seperti ini, dan warga kampung yang tinggal di situ, ada satu hal yang wajib. Karena warga kampung yang tinggal di situ, warga kampung yang memutuskan segalanya.

Ini membutuhkan kerjasama yang partisipatif antara pihak pemerintah, pihak warga, dan pihak para arsitek dan pakar. Harus diadakan diskusi-diskusi mengenai infrastruktur, penataan jalan, penataan rumah, dan arsitektur di antara ketiga pihak tersebut. Namun, pihak yang paling dominan adalah pihak warga, yang memutuskan dan merancang semuanya. Arsitek, pakar, dan pemerintah hanya merealisasikan ide-ide mereka sebaik mungkin.

Intinya, karena mereka memang mau (dan oleh karena urbanisasi, memang harus) tinggal di situ, mereka harus bisa bekerjasama dengan pemerintah dan para pakar agar dapat merancang perkampungan baru. Para pakar dan arsitek juga harus melayani kelas sosial rendah, dan justru harus fokus pada itu, bukan pada kelas sosial menengah ke atas. Itu intinya.

Aku baru tahu bahwa ada sistem-sistem cerdas dari warga kampung untuk menghadapi masalah di sungai. Contohnya sistem evakuasi saat banjir di daerah Kampung Pulo. Mereka dapat menebak kapan banjirnya tiba, dan mengungsi setelah menitip barangnya ke tetangga, atau menyimpannya di tempat yang aman. Setelah banjir itu selesai, mereka akan kembali lagi! Keinginan untuk hidup dan sense of belonging-nya sangat kelihatan!

Salah satu contohnya lagi adalah saringan sekaligus sumur yang dibuat di pinggir sungai di Yogyakarta. Ini memanfaatkan konsep bejana berhubungan dan Hukum Pascal. Air sungai masuk ke terowongan yang isinya saringan alami dengan batuan, icuk, dan lain-lain. Setelah melewati saringan, air tersebut akan muncul di sumur, dan diambil. Ini air bersih karena sudah melewati saringan! Cerdas, kan?!

Jadi intinya, aku baru tahu bahwa ternyata, warga yang tinggal di tepi sungai memang mau menetap di sana! Aku baru tahu bahwa mereka memilih beradaptasi dengan kondisi sungai yang begitu daripada pindah tempat tinggal.

Menurutku, ini cukup bagus! Dengan keinginan warga kampung yang begitu besar dan bantuan dari pemerintah dan pihak lain yang bersangkutan, konsep perkampungan baru dapat direalisasikan! Warga-warga yang tinggal di kampung tepi sungai memang sudah tinggal di sana sejak zaman dulu, dan mereka yang tahu paling banyak tentang wilayahnya. Mereka punya kecerdasan yang cukup untuk bertahan hidup di sana.

Menurutku, solusi-solusi cerdas seperti sumur saringan dan sistem evakuasi banjir merupakan bukti bahwa warga kampung dapat diberi tanggung jawab untuk kampungnya sendiri. Mereka dapat bekerjasama dengan pihak yang lain untuk merealisasikan program perkampungan baru.

Presentasinya narasumber kami, Kak Dodi, memberikanku harapan untuk proyek dan program rehabilitasi sungai yang kelihatannya mustahil. Kerjasama adalah satu unsur yang paling penting. Setidaknya, kita bisa menerapkan ini ke dalam kehidupan sehari-hari, agar pesan ‘KERJASAMA’ tersebar luas.


Semoga harapan untuk masa depan sungai dan kampung di tepinya tidak menghilang, dan semoga kita semua bisa setidaknya berusaha untuk bekerjasama. Amin.

1 comments:

Nice Kawan! Semoga banyak yang baca tulisanmu ini.

Post a Comment